Hutan

Posted by Posted by David Pasaribu On 23.32.00

Hutan Alam di Sumatera Utara Tinggal Tersisa 40.511 Hektar

Medan, Kompas - Hutan alam seluas 40.511 hektar yang masih tersisa di seluruh wilayah Sumatera Utara diperkirakan akan habis dalam tiga hingga empat tahun mendatang. Sisa hutan alam tersebut saat ini hanya berada di wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) Efendi Panjaitan mengungkapkan hal tersebut di Medan, Selasa (19/3). Pada kesempatan itu, Walhi Sumut mengungkapkan hasil pengamatan selama tiga hari di kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal yang menjadi lokasi penebangan kayu ilegal.
Efendi mengatakan, hutan alam yang masih tersisa di Mandailing Natal tersebut akan habis jika penebangan kayu terus berlangsung. Ini disebabkan karena beberapa perusahaan perkebunan telah memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atas hutan seluas 340.511 hektar. Dari luas hutan alam tersebut, seluas 300.000 hektar dalam kondisi rusak. Dengan demikian, hanya tersisa hutan alam yang benar-benar belum ditebang seluas 40.511 hektar.
"Kondisi hutan alam Sumatera Utara saat ini sudah berada pada titik kritis. Walhi memprediksikan, jika penghancuran hutan ini terus berlangsung, maka 2-5 tahun mendatang Sumatera Utara akan mengalami bencana alam yang lebih dahsyat. Banjir, longsor, kekeringan, dan rawan pangan tidak bisa dihindarkan lagi," ujar Efendi.
Efendi menegaskan, penebangan kayu di Mandailing Natal tersebut meliputi empat wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Batahan, Natal, Batang Natal, dan Muara Batang Gadis. Termasuk di dalamnya adalah lahan hutan lindung di kaki Gunung Sorik Marapi yang telah rusak seluas 20.000 hektar. Jumlah tersebut telah menambah angka penggundulan hutan di Sumatera Utara manjadi 1,8 juta hektar dalam waktu 20 tahun terakhir ini.
"Jalur keluarnya kayu ilegal dari Madina itu melewati tiga titik, yaitu dari daerah Tabuyung, Batahan, dan Singkuang. Setelah itu, biasanya dibawa ke Semarang dan Surabaya untuk pasar lokalnya, dan ke negara lain seperti Cina, Korea, serta Jepang," kata Efendi.
Efendi mengatakan, perubahan HPH menjadi Hak Guna Usaha (HGU) setelah kayu-kayu berukuran besar ditebang merupakan modus perusakan hutan yang sangat berbahaya. Pengusaha perkebunan yang memegang HPH akan membabat habis kayu-kayu berukuran besar dengan dalih untuk membuka perkebunan baru.
"Tapi, setelah HPH-nya habis mereka akan meminta HGU, dan dengan HGU ini mereka akan membabat habis kayu-kayu kecil yang masih tersisa. Lalu, mereka membakar hutan itu dengan dalih membuka perkebunan baru," kata Efendi.
Efendi menjelaskan, usaha yang paling efektif untuk menghentikan penebangan kayu ilegal tersebut adalah dengan melakukan kampanye internasional untuk menolak kayu Indonesia. Dalam setahun terakhir ini telah terjadi penolakan terhadap kayu asal Indonesia oleh konsumen kayu di luar negeri.

Sumber: Harian Kompas

0 comments

Posting Komentar